Oleh M DJUFRI RACHIM
SEJUMLAH media massa, utamanya media siber, menonjolkan barang
bukti berupa celana dalam Vannesa Angel sebagai angle (sudut pandang) berita
edisi Minggu malam hingga Senin (7 Januari 2019).
Ini
terkait dengan penjelasan kepolisian Jawa Timur setelah memeriksa selebritas
Vannesa yang ditangkap bersama teman kencannya, Rian atas dugaan prostitusi
online dengan tarif Rp 80 juta sekali kencan.
“Polisi
menyita beberapa barang diantaranya, satu unit telefon selular, satu sprei
putih, satu kotak kondom, satu kacamata dan satu celana dalam warna ungu dari
Vanessa Angel,” ujar Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Harissandi,
Minggu (6 Januari 2019).
Entah.
Uang Rp 80 juta itu tidak disebut sebagai barang bukti. Melainkan lebih
mengutamakan pengungkapan celana dalam dan kondom sebagai BB yang disita.
Sehingga
kemudian, misalnya, TribunNews.com mengusung
judul “Celana Dalam Vannesa Angel Warna Ungu Disita Polisi untuk Barang Bukti”
juga diikuti oleh tribun-tribun groupnya di daerah yang mengubah-ubah sedikit
judulnya, seperti “Polisi Sita Celana Dalam Ungu Milik Vanessa Angel dan Kondom
di Kasus Prostutusi Online” (TribunBatam.id).
Selain
itu, JPNN.Com (Group
media terluas di Indonesia) juga mengangkat judul “Celana Dalam Ungu Vanessa
Angel jadi Barang Bukti”. Demikian pula OkeZone.com dengan judul,
“Kondom hingga Celana Dalam Milik Vannesa Angel Disita Polisi”. Media online
lokal pun tak kalah, “Celana Dalam Ungu Artis Vannesa Disita Polisi Bersama
Sekotak Kondom” (SultraKini.com).
Apakah
judul-judul berita seperti itu melanggar Kode Etik Jurnalistik? Dari 11 pasal
KEJ, yang agak bertalian untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Pasal 4 yang
menyebutkan Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Cabul ditafsirkan penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto,
gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu
berahi.
Jelas
sekali penafsiran cabul dalam KEJ tersebut ditekankan pada penggambaran tingkah
laku yang semata-mata membangkitkan nafsu berahi. Lalu apakah dengan hanya
membaca judul-judul berita seperti diungkapkan di atas, berahi seseorang bisa
bangkit sementara dalam konten berita tidak ada satu media pun yang
menggambarkan detail-detail erotis semisal kronologis melepas celana dalam ungu
itu, atau desahan-desahan napas dan kucuran keringat kedua pasangan bukan suami
istri itu ketika melakukan hubungan seks?
Nampaknya
KEJ masih melonggarkan jurnalis (media) untuk dapat menggunakan diksi judul
“nakal” seperti di atas. Namun masih ada kode etik lain dan kode perilaku yang
mencoba memperketat itu. Misalnya, organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
mengeluarkan 20 pasal kode etik serta 54 pasal kode perilaku yang menjadi acuan
bagi setiap anggotanya.
Pasal
19 Kode Etik AJI menyebut Jurnalis tidak menyajikan berita atau karya
jurnalistik dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan
psikologis serta kejahatan seksual. Penafsirannya bahwa kekerasan psikologis
adalah sebuah tindakan verbal maupun nonverbal yang mengakibatkan trauma.
Selanjutnya,
dalam kode perilaku pasal 32 dijelaskan bahwa sebuah karya dianggap cabul jika
karya itu berisi penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu berahi.
Soal
cabul, maka kode perilaku AJI setali tiga uang dengan KEJ yang disahkan dewan
pers itu. Sama-sama menekankan soal penggambaran tingkah laku erotis yang
semata-mata membangkitkan syahwat atau keinginan bersetubuh.
Yang agak ketat justru Pasal 19 pada Kode Etik AJI yang mengarah
pada kekerasan psikologis mengakibatkan traumatik. Walau pun di situ tidak
dirinci trauma ditujukan pada korban atau publik (pembaca) dalam konteks berita
mengumbar kecabulan.
Jika
dikaitkan dengan kasus Vannesa Angel tentu masih butuh diskusi lanjutan. Apakah
Vannesa trauma dengan judul-judul pemberitaan tentang dirinya itu. Mungkin hal
ini bisa dijawab secara medis.
Tapi
pertanyaan selanjutnya bahwa mengapa musti trauma, bukankah yang bersangkutan
telah memikirkan efek dari berbagai sisi, termasuk pemberitaan media massa,
ketika sebelum memutuskan untuk menjalani prostitusi online dengan tarif yang
begitu selangit. Bahkan dengan sadar pun ia sempat memamerkan di akun media
sosialnya bahwa pekerjaan melayani seks itu sebagai “menjemput rezeki” di awal
tahun 2019?
Kasus
penangkapan selebritas Vannesa bagi media massa mempunyai news
value (nilai berita) yang tak kalah menarik dengan penangkapan
kasus korupsi. Sama-sama mempunyai nilai prominence yang tidak sekadar
ketokohan atau popularitas orang yang terlibat di dalamnya melainkan juga pada
fakta yang ada, yakni prostitusi online dengan tarif Rp 80 juta.
New value yang
paling nyata dalam kasus tersebut adalah sex. Pengertian seks di sini
bukan hanya diartikan “nafsu berahi” yang pornografis. Tapi ditinjau dari sudut
perhatian laki-laki dan perempuan terhadap diri masing-masing dan perhubungan
antarmereka. Berita-berita tentang percintaan, pertunangan, perkawinan, perceraian
selalu menarik perhatian pembaca.
Tentu
saja masih ada nilai-nilai yang lain jika dihubung-hubungkan, seperti konflik (pertentangan), magnitude,
jugaproximity dan timelines. Mungkin
juga ada oddness di
sana, ada keanehan, luar biasa, keajaiban, atau keganjilan.
Untuk
mengritik media yang menggunakan judul-judul celana dalam Vannesa di atas
mungkin lebih pada persoalan sopan santun masyarakat ketimuran dari pada
“mengutuknya” sebagai pelanggar kode etik. Karena bagaimana pun media massa
adalah institusi yang juga mempunyai tangggungjawab sosial.
Sebagai
institusi sosial, pers memiliki wilayah kerja yang mencakup banyak kepentingan,
yakni masyarakat, pemilik media, jurnalis, logika pasar, institusi
politik-sosial-ekonomi-budaya.
Karena
atas dasar itu pula sehingga pers membutuhkan suatu perundang-undangan dan tata
aturan etika memadai atas sebuah kegiatan media massa. Norma ini penting untuk
melindungi masyarakat serta melindungi profesi jurnalis dan institusi media
massa itu sendiri.
Dengan
demikian maka jangan lagi mengartikan judul tulisan ini sebagai sesuatu yang
cabul hanya karena menyebutkan celana dalam ungu. Dalam kacamata karya
jurnalistik, celana dalam warna ungu milik Vannesa Angel sebagai barang bukti
yang disita polisi sama saja tidak pornonya dengan judul berita celana jeans
robek milik Jessica Kumala Wongso pada kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang
heboh diberitakan pers Indonesia sekitar tiga tahun lalu (2016).
Maknailah
bahwa judul tulisan di media massa berfungsi untuk merayu pembaca, sehingga sepanjang
tidak membuat napas pembaca tertahan karena libidonya tinggi maka itu belum
apa-apa konae!
(M Djufri Rachim adalah Dosen Etika
Media Massa pada Jurusan Jurnalistik FISIP Universitas Halu Oleo) -- Dipublish SultraKini.com Pada 8 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar